Kamis, 24 Januari 2013

Contoh pristiwa terkait dengan sara


   
  1. Pengertian SARA (Suku Ras Agama dan Antar golongan)
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Kategori
• Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
• Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
  1. a. Makna Ras
Para ahli antropologi berusaha meneliti sifat politipis jenis manusia dengan secara sistematis mengklasifikasikan homo sapiens menjadi sub jenis atau ras, atau dasar lokasi geografis dan ciri-cirinya yang phenotipis (phisik) seperti warna kulit, besarnya tubuh, bentuk kepala, dan lebatnya rambut.
b. Ras sebagai konsep biologis
Dalam arti singkat ras dapat didefinisikan sebagai populasi sesuatu jenis yang berbeda dalam frekuensi keadaan suatu atau beberapa gen yang berbeda dari populasi lain dari jenis yang sama. Tapi ada 3 hal yang harus diperhatikan pertama, definisi itu tidak pasti, karena tidak ada kesepakatan mengenai berapa banyak perbedaan genetis yang diperlukan untuk membentuk sebuah ras. Kedua, tidak berarti suatu ras secara ekseklusif mengandung varian yang khas dari sebuah atau beberapa gen. Ketiga, bawa individu-individu dari ras yang satu belum tentu akan dapat dibedakan dari individu-individu ras yang lain.
  1. Suku Bangsa
Istilah “Suku Bangsa” (dalam bahasa Inggris) disebut ethnic group jika diterjemahkan secara harfiah menjadi kelompok ethnic. Jika sifat kesatuan dari suku suatu bangsa berupa golongan sebaiknya menggunakan istilah suku bangsa saja.Konsep yang tercakup dalam suatu istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka sehingga kesatuan kebudayaan tidak ditentukan oleh orang luar melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri.
Dalam kenyataanya konsep suku bangsa lebih komplek dari pada apa yang diuraikan diatas karena batas dari kesatuan manusia yang merasa dirinya terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit sesuai dengan keadaan. Misalnya penduduk pulau Flores terdiri dari berbagai suku bangsa yaitu orang Manggarai, Ngada, Sikka, Riung, Nage-Keo, Ende, Larantuka.
Pada dasarnya suatu kelompok etnis mempunyai 6 sifat-sifat sebagai berikut.
  1. Memiliki nama yang khas yang mengidentifikasikan hakekat dari suatu masyarakat. Misalnya suku Dayak, Batak dan Melayu.
  2. Memeliki Suatu mitos akan kesatuan nenek moyang. Mitos tersebut biasanya terdapat ide dalam kesamaan asalusul dalam waktu dan tempat tertentu sehingga kelompok tersebut membentuk suatukekeluargaan yang fiktif. Misalnya Suku Minahasa memeliki suatu mitos keluarga super yang bersala dari manusia pertama Toar dan Lumimuut.
  3. Kelompok tersebut mempunyai ingatan historis yang sama tau dengan kata lain mempunyai memori masa lalu yang sama seperti para pahlawan, kejadian-kejadian tertentu didalam hari-hari peringatan suku-suku tersebut.
  4. Kelompok tersebut memiliki kesatuan elemen-elemen budaya seperti agama, adat istiadat, bahasa.
  5. Kelompok tersebut terikat dengan suatu tanah tumpah darah (Homeland) baik secara fisik maupun hanya sebagi keterkaitan simbolik terhadap tanah leluhur seperti pada kelompok-kelompok diaspora.
  6. Memiliki suatu rasa solidaritas dari penduduknya.
  7. Daerah Kebudayaan
Suatu daerah kebudayaan adalah suatu daerah pada peta dunia yang oleh para ahli antropologi disatukan berdasarkan persamaan unsur-unsur atau ciri-ciri kebudayaan yang mencolok. Dengan penggolongan seperti itu, berbagai suku bangsa yang tersebar disuatu daerah dimuka bumi diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur kebudayaan yang menunjukan persamaan untuk memudahkan para ahli antropologi melakukan penelitian analisa komparatif.
Klasifikasi berdasarkan daerah kebudayaan mula-mula dicetuskan oleh F. Boas, walupun konsep itu menjadi terkenal dengan terbitnya buku C. Whistler yang berjudul The American Indian (1920). Dalam buku itu Whstler membagi kebudayaan suku  bangsa Indian penduduk amerika Utara kedalam 9 daerah kebudayaan.
Ciri-ciri kebudayaan yang dijadikan dari suatu penggologan daerah kebudayaan bukan hanya unsur-unsur kebudayaan fisik saja (misalnya alat-alat yang digunakan untuk berbagai jenis mata pencaharian hidup yaitu alat bercocok tanam, alat berburu, dan alat transport, senjata, bentuk-bentuk ornamen, gaya pakaian, bentuk rumah, dan sebagainya). Tetapi juga unsur-unsur kebudayaan abstrak seperti unsur-unsur organisasi kemasyarkatan , sistem perekonomian, upacara keagaaman, adat istiadat, dan lain-lain-lain. Persamaan ciri-ciri yang mencolok dalam suatu daerah kebudayaan biasanya hadir lebih kuat pada kebudayaan-kebudayaan yang merupakan pusat dari daerah kebudayaan yang bersangkutan dan makin tipis didalam kebudayaan-kebudayaan yang jaraknya makin jauh dari pusat tersebut.
Penggolongan berbagai Suku bangsa di Indonesia
Berdasarkan pada sistem lingkaran hukum adat yang dibuat oleh Van Vollenhoven.
  1. Aceh
  2. Gayo-Alas dan Batak
    1. Nias dan Batu
    2. Minangkabau
      1. Mentawai
      2. Sumatra Selatan
        1. Enggano
        2. Melayu
        3. Bangka Belitung
        4. Kalimantan
        5. Minahasa
          1. Sangir- Talaud
          2. Gorontalo
          3. Toraja
          4. Sulawesi selatan
          5. Ternate
          6. Ambon Maluku
            1. Kep. Barat- Daya
            2. Irian
            3. Timor
            4. Bali dan Lombok
            5. Jawa Tengah dan Jawa Timur
            6. Surakarta dan Yogyakarta
            7. Jawa Barat
  1. a.  Konflik
Menurut Ralf Dahrendorf konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (Inherent omni-presence) dalam setiap masyarakat manusia. Menurutnya, perbedaan pandangan dan kepentingan diantara keompok-kelompok masyarakat tersebut merupakan hal yang cenderung alamiah dan tidak terhindarkan. Namun pihak yang menolak sudut pandang itu mengatakan bahwa akan menjadi persolan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis dan merusak melalui penggunaan cara kekerasan fisik.
  1. Faktor Penyebab konflik
  • Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
  • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
  • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
  • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
  1. Macam-Macam Konflik Sosial
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
  • Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
  • Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
  • Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
  • Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
  • Konflik antar atau tidak antar agama
  • Konflik antar politik.
  1. Akibat Konflik Sosial
Terlepas dari teori konflik yang menganggap konflik memiliki nilai positif, sejarah jaman maupun kenyataan hingga kini membuktikan bahwa konflik sosial secara langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain. Kesemuanya itu secara langsung mengakibatkan korban jiwa, materiil, dan juga spiritual, serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Misalnya Perang Amerika dan Irak, Konflik Etnis (=Kerusuhan Sosial) di Kalimantan Barat. Akibat lanjutannya adalah terhentinya kerjasama antara kedua belah pihak yang terlibat konflik, terjadi rasa permusuhan, terjadi hambatan, bahkan kemandegan perkembangan kemajuan masyarakat; dan akhirnya dapat memunculkan kondisi dan situasi disintegrasi sosial maupun disintegrasi nasional yang menghambat pembangunan.
  1. Contoh Konflik Sosial
  1. Penyelesaian Konflik
Secara sosiologis, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama tidak membawa hasil.
  • a. Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihakpihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan majikan. Yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga. Kerja. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat buruh dan pihak majikan sendiri.
  • b. Mediasi
Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan Penanganan Konflik Sosial 5 keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.
  • c. Arbitrasi
Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional lain seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu perlu mencari keputusan secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah biasa dan pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu instansi swasta sebagai arbiter. Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam perlombaan dan pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah wasit.
  • d. Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai.
  • e. Detente
Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkahlangkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa “istirahat” itu. tidak tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi.
Contoh Kasus :
Konflik Ambon
Ambon manise kembali membara pada hari Minggu 11 September 2011 lalu. Kota yang tenang itu tiba-tiba bergolak. Dua kelompok massa bentrok dan mengamuk, menyebabkan kerusakan di berbagai sudut kota. Ibukota provinsi Maluku itu memanas dan mencekam.
Sebab kerusuhan itu dipicu oleh hal yang sepele, yakni kecelakaan seorang tukang ojeg. Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam menjelaskan, kematian tukang ojek bernama Darmin Saiman ditunggangi isu pembunuhan yang beredar via pesan pendek (SMS). Emosi warga pun memuncak, sehingga terjadi amuk massa.
Jika ditelisik lebih jauh, kerusuhan di Ambon yang sudah terjadi beberapa kali, semua akibat hasutan informasi berantai. Isu yang tidak berdasar fakta sengaja dihembuskan untuk menyulut emosi kelompok-kelompok yang kerap bertikai. Akibatnya, emosi tak terkendali membuat kekacauan di kota Ambon. Parahnya, persoalan kemudian dibelokkan ke masalah berbau SARA.
Kerusuhan Ambon pertama dan kedua juga diawali dengan persoalan sepele yang berujung ke konflik etnis. Pada kerusuhan 15 Juli 1999 yang diawali dengan bentrok di pulau Saparua, misalnya, menurut hasil investigasi pemerintah, diakibatkan oleh dendam pribadi yang memicu amuk massa lantaran rekayasa pihak-pihak tertentu.
Lantaran mudah tersulut kerusuhan, Ambon dan Maluku pada umumnya, kemudian menjadi ajang adu domba oleh pihak-pihak yang menginginkan Indonesia tercerai berai. Hingga saat ini tercatat sudah 3 kali Ambon dilanda kerusuhan hebat. Dan semuanya berawal dari persoalan sepele: bentrok individu yang sudah jamak terjadi.
Ada dugaan dalam kerusuhan Ambon kali ini terdapat campur tangan asing. Hal ini bisa dilihat dari waktu meletusnya kerusuhan yang bersamaan dengan peringatan sepuluh tahun atas penghancuran gedung kembar WTC (World Trade Center) di Amerika Serikat yang kemudian dijadikan propaganda anti terorisme oleh rezim Bush Junior sebagai presiden saat itu. Perlu disadari, Ambon telah menjadi bagian dari pusaran konflik kepentingan nasional dan regional. Wilayah Indonesia Timur itu menjadi salah satu titik kulminasi konflik di Asia Tenggara. Seperti diketahui, Asia Tenggara dijadikab obyek pusaran konflik dunia pasca perang dunia II. Kawasan ini menjadi “target” perebutan pengaruh bagi kubu Komunis maupun Liberalis, yang ditandai dengan pembentukan pakta militer SEATO (South East Asia Treaty Organizations) oleh Amerika Serikat dan sekutu, dan upaya perluasan Pakta Warsawa Uni Soviet di Vietnam pasca kejatuhan Vietnam Selatan.
Rebutan pengaruh itu diformulasikan dalam bentuk latent. Nah, intervensi kepentingan asing, tampaknya, mengangkat konflik latent tersebut menjadi gejala konflik sosial. Bentrok antar masyarakat banyak terjadi di lokasi yang mengalami ekskalasi konflik yang sangat tinggi.
Pola ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan konflik di tingkat negara. Artinya jika suatu negara memiliki kerawanan konflik, maka akan mengalami efek spiral ke masyarakat. Kasus yang banyak terjadi di Indonesia tercermin dalam konflik yang berdimensikan SARA (Suku, Agama. Ras, dan Antar Golongan). Konflik ini sering timbul secara sporadis ataupun masif, seperti terjadi di Ambon.
Meskipun telah jatuh korban jiwa maupun harta secara percuma dalam kerusuhan tersebut, ada yang patut kita syukuri bersama dan apresiasi secara positif. Bahwa masyarakat akar rumput tidak lagi begitu mudah terpancing atau terprovokasi secara massif seperti yang terjadi pada tahun 1999.
Hal ini diungkapkan oleh Sosiolog Universitas Indonesia yang juga berdarah Maluku, Tamrin Amal Tomagola. Tamrin berpendapat kerusuhan sehari ini masih cara provokasi lama yang selalu dilakukan di sekitar Idul Fitri.
Yang jadi sasaran provokasi adalah kelompok muslim. Namun, itu tidak terjadi. Akar rumput tidak terprovokasi. Buktinya, ada pemuda muslim yang terjebak di wilayah Kristen, diantar pulang kembali ke wilayah muslim. Begitupun sebaliknya. Sudah mulai ada kesadaran dalam diri mereka bahwa yang dulu terjadi adalah akibat mereka diadu domba (VIVAnews. Senin, 12 September 2011).
Pengamat konflik internasional UGM yang juga kelahiran Maluku Dr Eric Hiarej, M.Phil. Dia mengatakan persoalan konflik di Ambon tidak lepas dari proses identifikasi yang diterima masing-masing kelompok agama terhadap isu konflik internasional.
Mereka menganggap konflik yang terjadi di kampungnya sebagai bagian dari perwujudan konflik internasional. “Beberapa kampung, sejak 30 tahun lalu sejak saya kecil sampai sekarang tetap belum berubah. Mereka menganggap kampung Kristen sebagai ‘Israel’ dan kampung Islam sebagai ‘Palestina’,” pungkas Eric (detik.com. Senin, 12/09/2011)
Perbedaan adalah suatu konsekuansi logis yang muncul dalam setiap masyarakat yang bertipe masyarakat majemuk, seperti masyarakat Indonesia. Perbedaan bisa muncul dimana saja. Seperti misalnya perbedaan akan intertepretasi atas suatu gejala sosial yang sama oleh kelompok atau golongan yang berbeda adalah hal yang lumrah dalam masyarakat majemuk.
Dari perbedaan tersebut, selalu ada kemungkinan konflik muncul dalam berbagai bentuknya. Tidak dipungkiri memang dalam masyarakat majemuk yang penuh dengan perbedaan, membuat proses rekontruksi hubungan antar pihak yang bertikai menjadi lebih sulit. Biasanya akar konflik dalam masyarakat seperti ini mempunyai akar konflik yang dalam dan berjalin dengan prasangka dan stereotype yang mendarah daging.
Solusi dari Konflik Ambon
Penyelesaian konflik seperti ini membutuhkan proses yang panjang, membutuhkan komitmen jangka panjang, dan dalam cara pandang yang berkesinambungan. Dalam hal ini menurut Lederach (1999,24), perlu adanya framework kuat yang dapat mengagendakan pemulihan relasional dalam rekonsiliasi sebagai komponen penting dalam program peacebuilding.
Menurut Robert J Schreiter (2000) dalam bukunya Reconciliation; mission and ministry in a chinging social order, paling tidak telah dikenal tiga bentuk rekonsiliasi, yaitu: rekonsiliasi sebagai bentuk perdamaian, rekonsiliasi sebagai ganti dari pembebasan, dan rekonsiliasi terkendali untuk menyelesaikan konflik.
Rekonsiliasi sebagai bentuk perdamaian biasanya ditawarkan oleh para pelaku kekerasan kepada para korbannya. Contoh klasik dari bentuk rekonsiliasi semacam ini adalah tawaran perdamaian dari keluarga Korawa terhadap keluarga Pandawa. Beribu kali keluarga Pandawa menerima siksaan dan kekerasan dari keluarga Korawa walaupun mereka adalah sepupu. Karena keluarga Korawa menyadari akan akibat-akibat lebih jauh yang akan membuat Keluarga Pandawa semakin mendapat dukungan kekuatan dari pihak lain maka Keluarga Korawa mengajak berdamai – berekonsiliasi.
Bentuk kedua dari rekonsiliasi adalah sebagai pengganti pembebasan. Pembebasan di sini bukan saja pembebasan dari praktek-praktek kekerasan tetapi juga pembebasan dari struktur dan sistem yang memungkinkan tindak kekerasan. Dengan rekonsiliasi maka si korban telah terbebaskan dari tindak kekerasan. Dengan rekonsiliasi berarti kekerasan dapat dengan cepat dan mudah ditanggulangi.
Bentuk ketiga, usaha memperkecil konflik. Bentuk ini biasanya diprakarsai oleh pakar konflik yang memediatori kedua belah pihak yang sedang berselisih. Maka, rekonsiliasi mejadi suatu proses perundingan dan diharapkan kedua pihak yang bertentangan dapat saling mengakui kepentingan masing-masing. Karena itu, proses yang seimbang harus diselenggarakan. Masing-masing pihak harus ‘mengorbankan’ sejumlah kepentingannya agar konflik tidak terjadi.
Contoh klasik model rekonsiliasi semacam ini adalah saran yang diberikan oleh para pinitua agar Keluarga Korawa menyerahkan setengah wilayah negara Astina kepada Keluarga Pandawa dan agar Keluarga Pandawa bersedia menerima bagian tersebut walaupun sesungguhnya seluruh kerajaan Astina ini haknya sebagai warisan dari raja Pandu, ayah mereka.
Agar sukses, rekonsiliasi itu harus sesuai dengan makna dasarnya sebagai upaya damai di antara pihak-pihak yang berseteru (re-establishing normal relations between belligerents) harus dipelihara dan dijaga dari kemungkinan provokasi dari kekuatan-kekuatan lain yang tidak menghendakinya. Thomas dan Kilmann (1975) mengusulkan empat langkah agar rekonsiliasi berjalan seperti diharapkan.
  1. Pertama, accommodation, yaitu langkah memahami dan memenuhi kepentingan pihak lain.
  2. Kedua, avoidance, yaitu menghindari dan melupakan hal-hal yang menjadi sumber konflik di masa lalu.
  3. Ketiga, collaboration, yaitu usaha bersama yang sungguh-sungguh dalam mencari solusi terbaik.
  4. Keempat, compromise, yaitu kesediaan dari kedua belah pihak untuk berbagi dan membuat kompromi-kompromi yang menguntungkan bersama.
Solusi dari Penyusun
Menurut kelompok kami, konflik sosial yang terjadi di Ambon pada hari Minggu 11 September 2011 yang disebabkan oleh tewasnya tukang ojeg di sekitar RMS sehingga memicu bentrok antara dua kelompok yang berbeda agama. Menurut kami, cara terbaik untuk menyelesaikan konflik ini adalah dengan memperbaiki rekonsiliasi yang ada di Maluku Ambon ini. Selain itu, seharusnya penduduk yang ada, perlu menyadari akan pentingnya kerukunan antar berbagai kelompok dan agama yang ada di sana. Mereka perlu diberikan penyuluhan akan warna warni suku bangsa, ras, maupun agama yang ada di Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang harus dijaga karena merupakan ciri khas dari Bangsa Indonesia itu sendiri. Mereka perlu diberi arahan akan nuansa yang baru jika adanya kerukunan antar umat beragama maupun berbagai suku dan kelompok.
Cara lain untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan memperkokoh pertahanan yang ada di daerah tersebut agar mampu melerai pihak – pihak yang bersengketa. Selain itu, dengan merekatkan interksi sosial natar masyarakatnya akan mampu membendung konflik – konflik yang ada. Interaksi sosial antar warga dapat tumbuh jika mereka sadar akan kondisi lingkungan mereka. Jadi, intinya penyelesaian masalah ini hanya melalui kesadaran warganya dan interaksi sosial yang kuat dan kokoh.
Daftar Pustaka:
William A. Haviland. 1985. 1Antropology 4th Editiion.(terjemahan) Erlangga, Jakarta
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi 1. PT RINEKA CIPTA, Jakarta.
H.A.R. Tilaar. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Indentitas Bangsa Indonesia.PT RINEKA CIPTA, Jakarta.
Rozi Syafua,dkk. 2006. Kekerasan komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rudi Hartoyo. 2011. Pengertian SARA.
Anonim. 2009. Pengaruh Keragaman Suku Bangsa Terhadap Integritas Bangsa Indonesia. (http://mbah.byethost9.com/?page_id=18). Diakes tanggal 4 November 2011.
Ahmad Arif. 2011. Konflik SARA Ambon Rekonsiliasi yang Belum Tuntas. (http://www.detiknews.com/read/2011/09/16/132101/1723993/471/rekonsiliasi-yang-belum-tuntas) diakses tanggal 3 November 2011
Febri Iwanto. 2011. Pengertian, Bentuk, Faktor Dan Dampakhttp://febriirawanto.blogspot.com/2011/02/pengertian-bentuk-faktor-dan-dampak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar