Selasa, 18 Maret 2014

TUGAS SOFTSKILL 1 (2014)

Nama :Wirawan wicaksono
NPM :27412753
Kelas :2IC01
Jurusan :Teknik mesin
Matakuliah :Pendidikan Kewarganegaran
Dosen :Mei Raharja

1

KASUS SIPADAN-LIGITAN

Pada Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara “sambil minum teh”.
Ternyata Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun turisme dan arena diving yang sangat bagus (betapa “kasihannya” Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Maka Mahkamah Internasioanal pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara karena dengan diplomasi semacam ini akan menghindari peperangan sesame Negara Asia Tenggara, Cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.

Maka dari itu Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah,Putusan Mahkamah Internasional untuk menyerahkan status Sipadan-Ligitan kepada Malaysia merupakan pengalaman berharga yang mesti ditarik hikmahnya oleh semua pihak yang terkait. Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah :
Pertama, bagi pemerintah dan Deplu agaknya masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim teritorial ini. Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah Aceh yang sangat menguras energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan banyak pekerjaan rumah yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki klaim tumpang tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam, dan Singapura.
Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial.
Ketiga, mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara kepulauan untuk secara efektif menguasai seluruh pulau di batas teritori kita. Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut RI. Koordinasi ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait dengan penjagaan wilayah laut RI juga berkaitan dengan maraknya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional yang rentan terjadi di Indonesia adalah pencurian ikan, bajak laut, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata konvensional.
Keempat, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih proses sengketa Sipadan-Ligitan sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat pada umumnya. Kronologis sengketa ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan proses diplomasi yang dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak utuh terhadap sengketa Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan juga dapat mengakibatkan mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia internasional pada umumnya.
http://bryantobing01.blog.com/indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau-sipadan-dan-ligitan/

2



Nama: Ismail Marzuki
Gelar:Pahlawan  Nasional
Tanggal Penetapan : 5 November 2004
Dasar Penetapan : Keppres No. 89/TK/2004

              Ismail Marzuki lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914, Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini merupakan salah satu maestro musik legendaris di indonesia, memang memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.

          Orang tua Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi tempo dulu.

          Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.

            Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta. Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.

ismail marzuki, biografi, profil, musisi
            Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.

           Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.

           Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.

Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain
            Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.

             Ketika Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".

            Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.

ismail marzuki, biografi, profil, musisi
           Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".

          Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".

          Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan              "Juwita Malam". Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.

         Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei 1958.

Karya Lagu


Aryati
Gugur Bunga
Melati di Tapal Batas (1947)
Wanita
Rayuan Pulau Kelapa
Sepasang Mata Bola (1946)
Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
O Sarinah (1931)
Keroncong Serenata
Kasim Baba
Bandaneira
Lenggang Bandung
Sampul Surat
Karangan Bunga dari Selatan
Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)



http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/11/biografi-ismail-marzuki-sang-maestro.html

 3.




           ANOMAN, tokoh wayang terkenal dalam seri Ramayana, yang dalam Wayang Purwa juga sering muncul dalam kisah-kisah Mahabarata. Ia berujud kera berbulu putih. Ibunya adalah Dewi Anjani, sedangkan ayahnya Batara Guru. Pada saat Ramawijaya mengerahkan bala tentara kera menyerbu Kerajaan Alengka untuk membebaskan Dewi Sinta yang diculik Prabu Dasamuka, Anoman bertindak sebagai salah satu senapati.

Dalam pewayangan, kisah kelahiran Anoman diceritakan sebagai berikut:
      Ketika suatu saat Batara Guru sedang terbang melalang di atas Telaga Nirmala, ia menyaksikan seorang wanita muda sedang melakukan tapa kungkum. Melihat tubuh wanita muda itu, Dewi Anjani namanya, Batara Guru tidak dapat menahan birahinya dan jatuhlah kama benihnya, menimpa sehelai daun asam muda yang mengapung di permukaan telaga. Daun asam muda yang oleh orang Jawa disebut sinom itu hanyut terbawa arus dan akhirnya tertelan oleh Dewi Anjani. Seketika itu juga Dewi Anjani hamil. Karena merasa tidak pernah disentuh pria, segera Anjani menuntut Batara Guru untuk bertanggung jawab atas kehamilannya. Ternyata pemuka dewa itu tidak mengelakkan tanggung jawab. Ia mengakui bayi yang berada dalam kandungan Anjani sebagai anaknya, dan memerintahkan para bidadari menolong kelahirannya. Bayi itu kemudian diberi nama Anoman.

       Kelahiran Anoman ditandai dengan gara-gara yang melanda dunia. Gunung-gunung meletus, badai dan air bah terjadi di mana-mana. Para dewa segera mengutus beberapa bidadari untuk menolong persalinan Dewi Anjani. Sesudah Anoman lahir, para bidadari membawa Dewi Anjani dan bayinya ke kahyangan. Atas perkenan para dewa, sesudah melahirkan anaknya wanita berwajah kera itu berubah ujud menjadi wanita cantik kembali. Selama sisa hidupnya ia pun diperkenankan hidup di kahyangan sebagai bidadari. Batara Guru memberi nama Anoman kepada bayi kera berbulu putih bersih Anoman dan memerintahkan kepada Batara Bayu untuk mengasuhnya. Itulah sebabnya, Anoman juga bernama Bayusuta atau Bayutanaya, Maruti atau Marutaseta. (Selain Anoman, sebutan Bayusuta atau Bayutanaya juga dipakai untuk menyebut Bima. Jadi menurut pewayangan, terutama di Pulau Jawa, Anoman adalah anak Batara Guru yang diasuh oleh Batara Bayu atau Batara Maruta).

      Sebagai putra angkat atau anak asuh Batara Bayu, Anoman mengenakan kain Poleng Bang Bintulu Aji dan berkuku Pancanaka. Dalam pewayangan ada Sembilan tokoh yang merupakan "saudara tunggal Bayu". Mereka adalah:



    Batara Bayu sendiri,
    Anoman,
    Bima,
    Wil Jajahwreka,
    Begawan Maenaka,
    Liman Situbanda,
    Dewa Ruci,
    Garuda Mahambira,
    Naga Kuwara.



Versi-versi lainnya:
         Menurut Kitab Ramayana asli karangan Walmiki, Anoman bukan anak Batara Guru, melainkan anak Dewa Maruta, penguasa angin. Itulah sebabnya ia juga bernama Maruti atau Marutasuta. Sementara menurut Serat Kanda Anoman adalah anak Prabu Ramawijaya dan Dewi Sinta, yang lahir di tengah Hutan Dandaka. sebelum Dewi Sinta diculik Rahwana. Versi Anoman anak Rama-Sinta ini tidak begitu lazim dalam dunia pedalangan di Indonesia.

    Pedalangan Jawa Timuran yang banyak terpengaruh Serat Kanda. Kisah kelahiran Anoman di pewayangan Jawatimuran, dimulai pada saat pengembaraan Rama, Dewi Sinta, dan Laksmana di hutan, pada masa pembuangan. Pada saat itu Dewi Sinta telah hamil muda. Suatu ketika, segera setelah Rama dan Dewi Sinta mandi di Telaga Tirta Sumala, dari tubuh mereka keluar bulu-bulu putih.
      Tanpa diketahui sebabnya, tiba-tiba Dewi Sinta keguguran. Dari rahim Sinta keluar gumpalan darah. Ramawijaya kemudian menyuruh Laksmana membungkus gumpalan darah itu dengan daun lumbu (talas), dengan menyertakan sebelah anting-anting emas miliknya ke dalam bungkusan itu. Bungkusan itu lalu dilempar jauh-jauh oleh Laksmana. Tepat pada saat itu, Batara Guru yang sedang melanglang buana, menangkap bungkusan itu dan membawanya. Beberapa waktu kemudian, ketika dari angkasa Batara Guru melihat seorang wanita dengan tapa ngodok, tanpa busana. Karena terpana melihat keindahan lekuk tubuh wanita itu, tanpa terasa bungkusan yang dipegangnya jatuh tepat di hadapan sang Tapa. Sementara itu, karena birahinya menggejolak, jatuhlah kama benih (mani) Batara Guru, tepat menimpa bungkusan itu.
      Dewi Anjani, Sang Tapa, segera memakan bungkusan daun talas itu. Maka, hamillah Dewi Anjani. Ketika kemudian lahir, bayi yang berujud kera putih itu dinamai Anjali Kencana.

Sebagaimana tokoh wayang terkenal lainnya, Anoman memiliki banyak nama lain.
       Ia juga disebut: Anjaniputra, Anjali Kencana, Bambang Senggana, Prabancana, Ramandayapati, Maruti, Marmasuta, Kapiwara, dan Begawan Mayangkara. Nama Anoman yang terakhir ini digunakan ketika Anoman sudah tua, dan hidup sebagai pertapa di Pertapaan Kendalisada.

       Tetapi menurut pedalangan gagrak Jawatimuran, nama Anoman baru disandang Setelah ia menjadi utusan Ramawijaya ke Alengka untuk menjumpai Dewi Sinta di Taman Argasoka. Di negara itu ia membunuh senapati raksasa bernama Ditya Kala Anoman, Ditya Kala Ndayapati, dan Ditya Kala Prabancana. Nama-nama raksasa yang mati itu lalu diambil sebagai nama aliasnya. Sebelumnya, ia bernama Anjila Kencana. Setelah dewasa, oleh Batara Guru Anoman diperintahkan turun ke dunia untuk mengabdi pada Ramawijaya yang merupakan titisan Batara Wisnu. Anoman menjumpai Rama dan Laksmana ketika kedua ksatria itu sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Alengka. Saat itu Anoman sedang diperintah Sugriwa raja Guwakiskenda mencari bantuan untuk mengalahkan Subali. Setelah Rama membunuh Resi Subali, Sugriwa menyatakan bersedia membantu usaha Rama membebaskan Dewi Sinta dengan mengerahkan seluruh bala tentara keranya.
 
          Pada waktu Dewi Sinta disekap di Taman Argasoka, Alengka, Ramawijaya mengutus Anoman untuk menemui istrinya secara diam-diam. Kera putih itu berhasil menyelundup masuk dan bertemu muka serta menyampaikan pesan Ramawijaya kepada Dewi Sinta. Sesudah menunaikan tugas pokoknya Anoman sengaja membuat gara-gara dengan membuat kerusakan di lingkungan Keraton Alengka. Prabu Dasamuka segera mengutus putranya, Indrajit, untuk menangkapnya. Dengan panah Nagapasa, yang jika dilepaskan dari busurnya berubah menjadi ribuan ular dan melilit tubuhnya, Anoman tertangkap. Dalam keadaan terikat, Anoman dibakar hidup-hidup. Tetapi justru ketika itulah, dalam keadaan bulunya terbakar, Anoman meloloskan diri sambil membakari Istana Alengka. Peristiwa itu diceritakan dalam lakon Senggana Duta atau Anoman Obong.

           Waktu bala tentara Ramawijaya yang terdiri atas pasukan kera menyerbu Kerajaan Alengka, Anoman bertindak sebagai salah seorang senapatinya. Anoman pula yang menindih tubuh Prabu Dasamuka dengan gunung karena raja Alengka itu selalu dapat hidup kembali setelah mati terpanah oleh Ramawijaya. Karena jasa-jasanya membantu Ramawijaya dalam usaha merebut kembali Dewi Sinta dari tangan Dasamuka, Anoman diangkat anak oleh Rama. Karena itu Anoman juga mendapat sebutan Ramandayapati.

       Anoman sebenarnya jatuh cinta pada Dewi Trijata, putri Gunawan Wibisana. Wanita cantik itu dijumpainya sewaktu Anoman menjalankan tugas sebagai duta menemui Dewi Sinta di Taman Argasoka di Alengka. Tetapi karena ia tahu bahwa Dewi Trijata sebenarnya berharap dapat menjadi istri Laksmana, Anoman mengurungkan niatnya untuk memperistri Trijata.

       Sebelumnya, dalam perjalanan menuju Alengka pahlawan kera berbulu putih itu sempat dirayu seorang bidadari bernama Dewi Sayempraba, putri Batara Wiswakrama. Dewi Sayempraba sesungguhnya adalah salah seorang istri Dasamuka. Untuk mencegah jangan sampai Anoman tiba di Alengka, Dewi Sayempraba mencegatnya dan merayu, kemudian memberinya makanan berupa buah-buahan. Ternyata makanan itu sudah lebih dahulu dibubuhi racun. Akibatnya, setelah makan Anoman menjadi buta dan hilang kekuatannya. Ia hampir pingsan sewaktu seekor burung garuda bernama Sempati datang menolongnya. Anoman disembuhkan dari kebutaan dan diberi petunjuk caranya pergi ke Alengka.

      Namun rayuan Dewi Sayempraba sempat membuat bidadari, yang juga istri Dasamuka, itu hamil. Anak yang kemudian lahir juga berujud kera, dinamakan Tringganga atau Triyangga. Versi lain menyebutkan Anoman mempunyai anak Trigangga bukan dari Dewi Sayempraba melainkan dari Dewi Urangayu (sebagian dalang menyebut bukan Urang Ayu melainkan Dewi Urang Rayung) putri         Begawan Mintuna. Istri Anoman yang lain adalah Dewi Purwati, yang melahirkan anak bernama Purwaganti.

       Dalam cerita pewayangan di Indonesia, Anoman berumur sangat panjang. Menurut Serat Mayangkara ia hidup pada zaman Ramawijaya, zaman Pandawa, dan baru meninggal beratus tahun setelah Prabu Parikesit meninggal, yakni pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kediri. Sedangkan dalam cerita asli Ramayana, Anoman hanya hidup pada zaman Ramawijaya saja.

       Ada lagi dalang yang menganut versi bahwa Anoman hidup sepanjang masa, yakni masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Versi ini menyebutkan, Anoman memang ditugasi para dewa untuk menjaga Dasamuka. Raja Alengka ini tidak dapat mati karena memiliki Aji Pancasona yang diwarisinya dari Resi Subali. Karena itu setiap kali Dasamuka mati dan tubuhnya menyentuh bumi, ia akan hidup kembali. Karena itulah untuk menjaga jangan sampai Prabu Dasamuka membuat onar kembali di dunia, Anoman diharuskan tetap hidup selamanya, sampai saat dunia kiamat nanti.

 Sebuah versi lain menyebutkan tentang kematian Anoman sebagai berikut:
        Waktu itu, jauh sesudah selesainya Baratayuda, sewaktu di Pulau Jawa telah berdiri Kerajaan Mamenang (Kediri atau Daha), Anoman pergi ke kahyangan menghadap para dewa. Kepada Batara Guru ia mengatakan sudah bosan hidup di dunia, dan menanyakan kapan ia akan mati. Batara Guru menjawab, belum waktunya. Anoman tidak puas dengan jawaban itu, kemudian berkata, bahwa selama "hidup ratusan tahun, ia telah mendarmabaktikan segala kemampuan dan kesaktiannya untuk kesejahteraan dan keamanan dunia. Kini Anoman menuntut agar permintaannya yang terakhir, yaitu agar ia segera mati, dipenuhi oleh para dewa. Batara Guru menjawab: "Baik! Tetapi engkau lebih dahulu masih harus menjalankan sebuah tugas lagi, yaitu menjodohkan ketiga orang putra Prabu Sriwahana (sebagian dalang menyebut Prabu Sriwahana dengan sebutan Prabu Sariwahana) dari Kerajaan Yawastina."

        Dalam pelaksanaan tugas itu nanti, menurut Batara Guru, Anoman akan gugur. Karena, seorang ksatria agung seperti Anoman tidak layak bila mati di tempat tidur. Para dewa memutuskan, Anoman harus gugur sebagai ksatria sejati di medan tugas. Anoman menyanggupi tugas itu karena ia memang ingin mati sebagai prajurit.
         Pertarna-tama ia menemui Prabu Sriwahana dan menguraikan tentang maksud para dewa menjodohkan ketiga putra raja Yawastina itu dengan putri-putri Prabu Jayabaya. Prabu Sriwahana menyetujui. Maka berangkatlah Anoman ke Mamenang. Sebenarnya lamaran yang diajukan Anoman untuk ketiga putra raja Yawastina itu diterima oleh Prabu Jayabaya. Namun, sebelum pembicaran itu tuntas, tiba-tiba datanglah Prabu Yaksadewa. Raja raksasa itu ternyata juga akan melamar ketiga putri Prabu Jayabaya.
        Perkelahian tidak dapat dihindari. Seperti janji para dewa, dalam pertempuran itu Anoman gugur. Menyaksikan peristiwa itu, Prabu Jayabaya marah, dan berhadapan dengan Prabu Yaksadewa.
       Raja raksasa itu berhasil dikalahkannya, dan berubah ujud menjadi Batara Kala, yang kemudian lari pulang ke tempat kediamannya di Setra Gandamayit.

     Dari cerita ini jelas bahwa Anoman, menurut pewayangan, tewas oleh Batara Kala, pada zaman Kerajaan Mamenang, atau Kerajaan Kediri.

      Menurut Mahabarata versi Jawa Kuna, yakni pada bagian Tritayatra Parwa, Anoman pernah berjumpa dengan Bima. Waktu itu para Pandawa sedang menjalani pembuangan selama 12 tahun di hutan. Waktu Bima hendak lewat di sebuah jalan sempit di tebing jurang, seekor kera putih sedang berbaring melintang jalan. Dengan sopan Bima minta agar kera putih itu menepi agar ia bisa lewat.
Sang Kera Putih menjawab: "Jika aku menghalangi perjalananmu, mengapa bukan kau lompati saja aku, atau engkau singkirkan saja tubuhku ke tepi?" Bima menolak melompati kera itu karena perbuatan itu tidak sopan. Ia pun tidak mau menyingkirkan kera itu, karena itu berarti memaksakan kehendak.
Sang Kera lalu mengatakan: "Bila engkau dapat mengangkat ekorku, maka dengan sukarela aku akan menyingkir dari tempat ini."
Tanpa banyak bicara Bima mencoba mengangkat ekor kera itu, namun ternyata tidak sanggup, meskipun ia telah mengerahkan segenap kesaktiannya. Kini tahulah Bima bahwa ia berhadapan dengan seekor kera Sakti berilmu tinggi. Karenanya, Bima segera memohon agar diterima sebagai muridnya. Permohonan Bima dipenuhi. Anoman lalu memperkenalkan diri bahwa sebenamya ia dan Bima "saudara Tunggal Bayu". Ia pun memberikan beberapa ilmu pada "saudara Tunggal Bayu"nya itu. Di antara yang diwariskan adalah ilmu mengenai pembagian zaman yang selalu berlangsung di alam dunia ini.

Pembagian zaman di dunia menurut Anoman adalah:
Zaman Kreta atau Kretayuga, yakni zaman ke-utamaan yang sempurna. Di dunia hanya ada satu agama, tidak ada kejahatan, belum ada tradisi jual beli, yang ada hanya memberi dan menerima. Setiap manusia menjalankan kewajiban (derma) masing-masing dengan sebaik-baiknya, tanpa ada rasa iri atau sirik pada orang lain. Semua manusia mempunyai kedudukan sama terhadap manusia lainnya.

Zaman Tirta atau Tirtayuga, yakni ketika di dunia ini mulai terdapat orang-orang yang berhati jahat. Seperempat penduduk dunia menjadi orang yang berperilaku dengki, iri dan sutra mengambil yang bukan miliknya. Yang baik hanya tinggal tiga perempat bagian saja. pada zaman ini muncul kebiasaan orang mengadakan sesaji, dan timbul berbagai macam agama. pada zaman Tirta pula dimulai adanya pembagian golongan masyarakat: golongan brahmana, ksatria, waisya, dan sudra.

Zaman Dupara atau Duparayuga, ketika manusia di dunia ini terbagi menjadi dua bagian. Yang separuh menjadi orang jahat dan separuh sisanya tetap baik. Jumlah agama makin banyak, tetapi yang memperhatikan kaidah dan norma agama itu makin sedikit. Banyak orang bertapa dan mencari kesaktian, namun sebagian dari mereka bertujuan buruk. Orang yang ingin berbuat kebaikan makin banyak godaan dan halangannya.

Zaman Kali atau Kaliyuga, yakni zaman di mana keburukan menang atas kebaikan. Golongan manusia yang masih berjalan di jalan keutamaan tinggal seperempat bagian saja. Sisanya sudah menjadi orang jahat. Agama, walaupun makin banyak macamnya, seakan sudah tidak lagi dipedulikan orang. Banyak orang malas, tetapi mereka selalu iri pada keberhasilan orang yang rajin. Orang takut melarat, tetapi tidak berusaha untuk menjadi kaya. Zaman ini adalah zaman ketika usia dunia telah tua, telah mendekati akhir zaman.

Selain itu, Anoman masih banyak memberikan wejangan dan bimbingan kepada Bima mengenai rahasia hidup, dan kehidupan alam. Iapun mengajarkan beberapa ilmu, di antaranya ilmu Sepi Angin.
Tetapi selain memberikan ilmu-ilmunya pada Bima, Anoman pun pernah berguru pada Bima. Waktu Bima mengajarkan berbagai ilmu spiritual kepada anak-anak dan keponakannya di Gunung Argakelasa, Anoman pun ikut menjadi muridnya. Waktu itu Anoman menggunakan nama Kapiwara.

Pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gaya Surakarta, tokoh Anoman dilukiskan bermata satu (karena dipandang dari satu sisi), sedangkan pada gaya Yogyakarta dan Kedu, bermata dua.
Setelah Anoman lanjut usia dan menjadi pertapa di Kendalisada, ia lebih dikenal dengan nama Resi Mayangkara, dan figur wayangnya mengenakan sampir, yakni selendang di bahunya.
Dalam Wayang Orang, tokoh Anoman ditarikan oleh seorang penari pria. Ia mengenakan topeng mulut dan hidung, dan berpakaian kaus putih menutupi badan dan tangan serta kakinya.
http://blvckshadow.blogspot.com/2010/03/anoman.html 


4.

PROVINSI PAPUA BARAT
            Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat disingkat Irjabar) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Papua. Ibukota provinsi Papua Barat adalah Manokwari. Nama provinsi ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat dan Papua merupakan provinsi yang memperoleh status otonomi khusus.
ARTI LAMBANG PROVINSI PAPUA BARAT
Lambang Provinsi Papua Barat :
  1.  Tulisan Papua Barat menjelaskan nama Provinsi Papua Barat
  2. Bintang berwarna putih bermakna Ketuhanan Yang Maha Esa dan cita-cita serta harapan yang akan diwujudkan.
  3. Pohon dan ikan bermakna bahwa Provinsi Papua Barat memiliki sumber daya hutan dan sumber daya laut yang berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
  4. Menara kilang dengan semburan api berwarna merah bermakna bahwa Provinsi Papua Barat memiliki kekayaan bahan tambang yang melimpah.
  5. Leher dan kepala burung Kasuari menghadap ke kanan dalam bidang lingkaran hijau bermakna bahwa Provinsi Papua Barat secara geografis terletak di wilayah leher dan kepala burung Pulau Papua, sekaligus memilki filosofi ketangguhan, keberanian, kekuatan dan ketahanan menghadapi tantangan pembangunan dimasa depan serta berkeyakinan bahwa dengan semangat persatuan dan kesatuan, kesinambungan pembangunan akan mewujudkan masa depan yang cerah.
  6. Bidang Hijau yang diapit 3 (tiga) bidang biru bermakna kesatuan tekad dan perjuangan dari 3 (tiga) unsur: pemerintah, rakyat/adat dan agama mewujudkan keberadaan Provinsi Papua Barat.
  7. Perisai dengan warna dasar biru bersudut lima bermakna bahwa provinsi Papua Barat berasaskan Pancasila yang mampu melindungi seluruh rakyat.
  8. Sepasang pelepah daun sagu, masing-masing pelepah bagian kanan terdiri dari 12 (dua belas) pasang anak daun, bagian kiri terdiri dari 10 (sepuluh) pasang anak daun yang diikat oleh dua angka sembilan bermotif ukiran karerin budaya Papua, bermakna bahwa Provinsi Papua Barat dibentuk pada tanggal 12 Oktober 1999NKRI. Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Provinsi Papua Barat yang melambangkan kesejehteraan dan kemakmuran. sebagai Provinsi ke-2 di Tanah Papua dan ke-31 di wilayah.
  9. Seutas pita berwarna kuning bertuliskan “CINTAKU NEGERIKU” terletak di bagian bawah perisai merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perisai bermakna folosofis perjuangan seluruh komponen masyarakat untuk mempertahankan keberadaan Provinsi Papua Barat dalam bingkai NKRI.

http://kejoratrisnawati.wordpress.com/lambang/