NPM :27412753
Kelas :2IC01
Jurusan :Teknik mesin
Matakuliah :Pendidikan Kewarganegaran
Dosen :Mei Raharja
1
KASUS
SIPADAN-LIGITAN
Pada Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika
Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex
(Japan Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama
dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan
eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim
bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di
tolak oleh pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi
berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog,
dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam
tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan
cara “sambil minum teh”.
Ternyata Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu
sehingga Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia
tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah
Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah
dibangun turisme dan arena diving yang sangat bagus (betapa “kasihannya”
Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat
untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague
di Belanda.
Maka Mahkamah Internasioanal pada tahun 1998 masalah
sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17
Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan
Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang
yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap
dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih
oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia
di selat Makassar.
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada
Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi
dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan
Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara karena
dengan diplomasi semacam ini akan menghindari peperangan sesame Negara Asia
Tenggara, Cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang
menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru
sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara
anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial
Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik
Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN.
ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam
pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu
negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN
sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk
menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan
persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan
beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama
dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia
terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun
anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya
Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar
Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan
diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan
para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita
menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan
dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur
lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan
pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun
melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun
1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti
historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997
pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan
masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan
pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian
dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang
panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha
apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita
seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah
efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai
merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan
fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa
melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita
terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti
bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu
saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia
berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga
Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun
bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah
perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang
berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah
internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan.
Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan
terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive
occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata
hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila
ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan
otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan,
tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya.
Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk
mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan
friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian
dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang
dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”,
membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi
secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat
lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya.
Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan
yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari
tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan
penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut
nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk
mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan
political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus,
pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak
terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan
konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat
kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait
batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat
perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan
kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah
menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan
Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat
kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari
luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika
dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan
militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan
akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama
sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu
melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan
militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari
kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang
waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun
1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang
613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL
itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24
kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan
dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena
itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya
wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan
tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan.
Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah
juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum
diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan
perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah
terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang
paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di
wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait
pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
Maka dari itu Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah,Putusan
Mahkamah Internasional untuk menyerahkan status Sipadan-Ligitan kepada Malaysia
merupakan pengalaman berharga yang mesti ditarik hikmahnya oleh semua pihak
yang terkait. Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah :
Pertama, bagi pemerintah dan Deplu agaknya masih perlu
membagi perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim teritorial
ini. Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah Aceh yang sangat menguras
energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan banyak pekerjaan rumah
yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan
pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki klaim
tumpang tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam, dan Singapura.
Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah
Internasional tersebut yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan
pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak
mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan
menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial.
Ketiga, mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara
kepulauan untuk secara efektif menguasai seluruh pulau di batas teritori kita.
Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga
yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut RI. Koordinasi
ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait dengan penjagaan wilayah laut
RI juga berkaitan dengan maraknya kejahatan transnasional. Kejahatan
transnasional yang rentan terjadi di Indonesia adalah pencurian ikan, bajak
laut, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata konvensional.
Keempat, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih
proses sengketa Sipadan-Ligitan sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat
pada umumnya. Kronologis sengketa ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan
proses diplomasi yang dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh
masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak utuh terhadap sengketa
Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan juga dapat mengakibatkan
mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia internasional pada
umumnya.
http://bryantobing01.blog.com/indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau-sipadan-dan-ligitan/
2
Nama:
Ismail Marzuki
Gelar:Pahlawan Nasional
Tanggal
Penetapan : 5 November 2004
Dasar
Penetapan : Keppres No. 89/TK/2004
Ismail Marzuki lahir di Kwitang,
Senen, Batavia, 11 Mei 1914, Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan
Maing ini merupakan salah satu maestro musik legendaris di indonesia, memang
memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan.
Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar.
Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya
mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya,
Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak
Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang
bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah
tertarik dengan lagu-lagu.
Orang tua Ismail Marzuki termasuk
golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang
dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar
terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli
piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh
masyarakat Betawi tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah
Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin.
Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat
kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di
Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan
tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah
lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia
memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta
lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja
di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga
dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir
dirasakan kurang cocok baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak
tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor
yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta.
Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya,
pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam
bidang musik.
ismail marzuki,
biografi, profil, musisi
Selama bekerja sebagai penjual
piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan
penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat
Kartolo). Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai
pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Tahun 1934, Belanda membentuk
Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java
mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai
menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri
antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan
"Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam
di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan
Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi
dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing
mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai
mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada
beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl".
Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung"
dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II
(1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM
mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di
Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio
Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri
dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes
Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain
Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain
musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman
Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing
sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah
sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru.
Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan.
Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.
Ketika Ma'ing membentuk organisasi
Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes
studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan
lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu
Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada
Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa
Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa
Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen
bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His
Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".
Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan
penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki
seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku.
PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa.
Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan.
Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau
Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk
hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
ismail marzuki,
biografi, profil, musisi
Pada periode 1943-1944, Ma'ing
menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain
"Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah
Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda
Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak
Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai.
Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat
Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing
terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan
"Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke
Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika
berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat
menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari
dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu,
mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai
masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat
perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata
Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi",
"Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan
Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun
sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu
"Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam".
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya
dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi
yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan
"Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni
hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot
seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950
dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu
"Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari
para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke
100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu
ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias
Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei
1958.
Karya
Lagu
Aryati
Gugur Bunga
Melati di Tapal Batas (1947)
Wanita
Rayuan Pulau Kelapa
Sepasang Mata Bola (1946)
Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
O Sarinah (1931)
Keroncong Serenata
Kasim Baba
Bandaneira
Lenggang Bandung
Sampul Surat
Karangan Bunga dari Selatan
Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/11/biografi-ismail-marzuki-sang-maestro.html
3.
ANOMAN, tokoh wayang terkenal dalam
seri Ramayana, yang dalam Wayang Purwa juga sering muncul dalam kisah-kisah
Mahabarata. Ia berujud kera berbulu putih. Ibunya adalah Dewi Anjani, sedangkan
ayahnya Batara Guru. Pada saat Ramawijaya mengerahkan bala tentara kera
menyerbu Kerajaan Alengka untuk membebaskan Dewi Sinta yang diculik Prabu
Dasamuka, Anoman bertindak sebagai salah satu senapati.
Dalam pewayangan, kisah
kelahiran Anoman diceritakan sebagai berikut:
Ketika suatu saat Batara Guru sedang
terbang melalang di atas Telaga Nirmala, ia menyaksikan seorang wanita muda
sedang melakukan tapa kungkum. Melihat tubuh wanita muda itu, Dewi Anjani
namanya, Batara Guru tidak dapat menahan birahinya dan jatuhlah kama benihnya,
menimpa sehelai daun asam muda yang mengapung di permukaan telaga. Daun asam
muda yang oleh orang Jawa disebut sinom itu hanyut terbawa arus dan akhirnya
tertelan oleh Dewi Anjani. Seketika itu juga Dewi Anjani hamil. Karena merasa
tidak pernah disentuh pria, segera Anjani menuntut Batara Guru untuk
bertanggung jawab atas kehamilannya. Ternyata pemuka dewa itu tidak mengelakkan
tanggung jawab. Ia mengakui bayi yang berada dalam kandungan Anjani sebagai
anaknya, dan memerintahkan para bidadari menolong kelahirannya. Bayi itu
kemudian diberi nama Anoman.
Kelahiran Anoman ditandai dengan
gara-gara yang melanda dunia. Gunung-gunung meletus, badai dan air bah terjadi
di mana-mana. Para dewa segera mengutus beberapa bidadari untuk menolong
persalinan Dewi Anjani. Sesudah Anoman lahir, para bidadari membawa Dewi Anjani
dan bayinya ke kahyangan. Atas perkenan para dewa, sesudah melahirkan anaknya
wanita berwajah kera itu berubah ujud menjadi wanita cantik kembali. Selama
sisa hidupnya ia pun diperkenankan hidup di kahyangan sebagai bidadari. Batara
Guru memberi nama Anoman kepada bayi kera berbulu putih bersih Anoman dan
memerintahkan kepada Batara Bayu untuk mengasuhnya. Itulah sebabnya, Anoman
juga bernama Bayusuta atau Bayutanaya, Maruti atau Marutaseta. (Selain Anoman,
sebutan Bayusuta atau Bayutanaya juga dipakai untuk menyebut Bima. Jadi menurut
pewayangan, terutama di Pulau Jawa, Anoman adalah anak Batara Guru yang diasuh
oleh Batara Bayu atau Batara Maruta).
Sebagai putra angkat atau anak asuh Batara
Bayu, Anoman mengenakan kain Poleng Bang Bintulu Aji dan berkuku Pancanaka.
Dalam pewayangan ada Sembilan tokoh yang merupakan "saudara tunggal
Bayu". Mereka adalah:
Batara
Bayu sendiri,
Anoman,
Bima,
Wil
Jajahwreka,
Begawan Maenaka,
Liman
Situbanda,
Dewa Ruci,
Garuda
Mahambira,
Naga
Kuwara.
Versi-versi lainnya:
Menurut Kitab Ramayana asli karangan
Walmiki, Anoman bukan anak Batara Guru, melainkan anak Dewa Maruta, penguasa angin.
Itulah sebabnya ia juga bernama Maruti atau Marutasuta. Sementara menurut Serat
Kanda Anoman adalah anak Prabu Ramawijaya dan Dewi Sinta, yang lahir di tengah
Hutan Dandaka. sebelum Dewi Sinta diculik Rahwana. Versi Anoman anak Rama-Sinta
ini tidak begitu lazim dalam dunia pedalangan di Indonesia.
Pedalangan Jawa Timuran yang banyak
terpengaruh Serat Kanda. Kisah kelahiran Anoman di pewayangan Jawatimuran,
dimulai pada saat pengembaraan Rama, Dewi Sinta, dan Laksmana di hutan, pada
masa pembuangan. Pada saat itu Dewi Sinta telah hamil muda. Suatu ketika,
segera setelah Rama dan Dewi Sinta mandi di Telaga Tirta Sumala, dari tubuh
mereka keluar bulu-bulu putih.
Tanpa diketahui sebabnya, tiba-tiba Dewi
Sinta keguguran. Dari rahim Sinta keluar gumpalan darah. Ramawijaya kemudian
menyuruh Laksmana membungkus gumpalan darah itu dengan daun lumbu (talas),
dengan menyertakan sebelah anting-anting emas miliknya ke dalam bungkusan itu.
Bungkusan itu lalu dilempar jauh-jauh oleh Laksmana. Tepat pada saat itu,
Batara Guru yang sedang melanglang buana, menangkap bungkusan itu dan
membawanya. Beberapa waktu kemudian, ketika dari angkasa Batara Guru melihat
seorang wanita dengan tapa ngodok, tanpa busana. Karena terpana melihat
keindahan lekuk tubuh wanita itu, tanpa terasa bungkusan yang dipegangnya jatuh
tepat di hadapan sang Tapa. Sementara itu, karena birahinya menggejolak,
jatuhlah kama benih (mani) Batara Guru, tepat menimpa bungkusan itu.
Dewi Anjani, Sang Tapa, segera memakan
bungkusan daun talas itu. Maka, hamillah Dewi Anjani. Ketika kemudian lahir,
bayi yang berujud kera putih itu dinamai Anjali Kencana.
Sebagaimana tokoh
wayang terkenal lainnya, Anoman memiliki banyak nama lain.
Ia juga disebut: Anjaniputra, Anjali
Kencana, Bambang Senggana, Prabancana, Ramandayapati, Maruti, Marmasuta,
Kapiwara, dan Begawan Mayangkara. Nama Anoman yang terakhir ini digunakan
ketika Anoman sudah tua, dan hidup sebagai pertapa di Pertapaan Kendalisada.
Tetapi menurut pedalangan gagrak Jawatimuran,
nama Anoman baru disandang Setelah ia menjadi utusan Ramawijaya ke Alengka
untuk menjumpai Dewi Sinta di Taman Argasoka. Di negara itu ia membunuh
senapati raksasa bernama Ditya Kala Anoman, Ditya Kala Ndayapati, dan Ditya
Kala Prabancana. Nama-nama raksasa yang mati itu lalu diambil sebagai nama
aliasnya. Sebelumnya, ia bernama Anjila Kencana. Setelah dewasa, oleh Batara
Guru Anoman diperintahkan turun ke dunia untuk mengabdi pada Ramawijaya yang
merupakan titisan Batara Wisnu. Anoman menjumpai Rama dan Laksmana ketika kedua
ksatria itu sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Alengka. Saat itu Anoman
sedang diperintah Sugriwa raja Guwakiskenda mencari bantuan untuk mengalahkan
Subali. Setelah Rama membunuh Resi Subali, Sugriwa menyatakan bersedia membantu
usaha Rama membebaskan Dewi Sinta dengan mengerahkan seluruh bala tentara
keranya.
Pada waktu Dewi Sinta disekap di
Taman Argasoka, Alengka, Ramawijaya mengutus Anoman untuk menemui istrinya
secara diam-diam. Kera putih itu berhasil menyelundup masuk dan bertemu muka
serta menyampaikan pesan Ramawijaya kepada Dewi Sinta. Sesudah menunaikan tugas
pokoknya Anoman sengaja membuat gara-gara dengan membuat kerusakan di
lingkungan Keraton Alengka. Prabu Dasamuka segera mengutus putranya, Indrajit,
untuk menangkapnya. Dengan panah Nagapasa, yang jika dilepaskan dari busurnya
berubah menjadi ribuan ular dan melilit tubuhnya, Anoman tertangkap. Dalam
keadaan terikat, Anoman dibakar hidup-hidup. Tetapi justru ketika itulah, dalam
keadaan bulunya terbakar, Anoman meloloskan diri sambil membakari Istana
Alengka. Peristiwa itu diceritakan dalam lakon Senggana Duta atau Anoman Obong.
Waktu bala tentara Ramawijaya yang
terdiri atas pasukan kera menyerbu Kerajaan Alengka, Anoman bertindak sebagai
salah seorang senapatinya. Anoman pula yang menindih tubuh Prabu Dasamuka
dengan gunung karena raja Alengka itu selalu dapat hidup kembali setelah mati
terpanah oleh Ramawijaya. Karena jasa-jasanya membantu Ramawijaya dalam usaha
merebut kembali Dewi Sinta dari tangan Dasamuka, Anoman diangkat anak oleh
Rama. Karena itu Anoman juga mendapat sebutan Ramandayapati.
Anoman sebenarnya jatuh cinta pada Dewi
Trijata, putri Gunawan Wibisana. Wanita cantik itu dijumpainya sewaktu Anoman
menjalankan tugas sebagai duta menemui Dewi Sinta di Taman Argasoka di Alengka.
Tetapi karena ia tahu bahwa Dewi Trijata sebenarnya berharap dapat menjadi
istri Laksmana, Anoman mengurungkan niatnya untuk memperistri Trijata.
Sebelumnya, dalam perjalanan menuju
Alengka pahlawan kera berbulu putih itu sempat dirayu seorang bidadari bernama
Dewi Sayempraba, putri Batara Wiswakrama. Dewi Sayempraba sesungguhnya adalah
salah seorang istri Dasamuka. Untuk mencegah jangan sampai Anoman tiba di
Alengka, Dewi Sayempraba mencegatnya dan merayu, kemudian memberinya makanan
berupa buah-buahan. Ternyata makanan itu sudah lebih dahulu dibubuhi racun.
Akibatnya, setelah makan Anoman menjadi buta dan hilang kekuatannya. Ia hampir
pingsan sewaktu seekor burung garuda bernama Sempati datang menolongnya. Anoman
disembuhkan dari kebutaan dan diberi petunjuk caranya pergi ke Alengka.
Namun rayuan Dewi Sayempraba sempat
membuat bidadari, yang juga istri Dasamuka, itu hamil. Anak yang kemudian lahir
juga berujud kera, dinamakan Tringganga atau Triyangga. Versi lain menyebutkan
Anoman mempunyai anak Trigangga bukan dari Dewi Sayempraba melainkan dari Dewi
Urangayu (sebagian dalang menyebut bukan Urang Ayu melainkan Dewi Urang Rayung)
putri Begawan Mintuna. Istri
Anoman yang lain adalah Dewi Purwati, yang melahirkan anak bernama Purwaganti.
Dalam cerita pewayangan di Indonesia,
Anoman berumur sangat panjang. Menurut Serat Mayangkara ia hidup pada zaman
Ramawijaya, zaman Pandawa, dan baru meninggal beratus tahun setelah Prabu
Parikesit meninggal, yakni pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kediri.
Sedangkan dalam cerita asli Ramayana, Anoman hanya hidup pada zaman Ramawijaya
saja.
Ada lagi dalang yang menganut versi
bahwa Anoman hidup sepanjang masa, yakni masa lalu, masa kini, dan masa
mendatang. Versi ini menyebutkan, Anoman memang ditugasi para dewa untuk
menjaga Dasamuka. Raja Alengka ini tidak dapat mati karena memiliki Aji
Pancasona yang diwarisinya dari Resi Subali. Karena itu setiap kali Dasamuka mati
dan tubuhnya menyentuh bumi, ia akan hidup kembali. Karena itulah untuk menjaga
jangan sampai Prabu Dasamuka membuat onar kembali di dunia, Anoman diharuskan
tetap hidup selamanya, sampai saat dunia kiamat nanti.
Sebuah versi lain menyebutkan tentang kematian
Anoman sebagai berikut:
Waktu itu, jauh sesudah selesainya
Baratayuda, sewaktu di Pulau Jawa telah berdiri Kerajaan Mamenang (Kediri atau
Daha), Anoman pergi ke kahyangan menghadap para dewa. Kepada Batara Guru ia
mengatakan sudah bosan hidup di dunia, dan menanyakan kapan ia akan mati.
Batara Guru menjawab, belum waktunya. Anoman tidak puas dengan jawaban itu,
kemudian berkata, bahwa selama "hidup ratusan tahun, ia telah
mendarmabaktikan segala kemampuan dan kesaktiannya untuk kesejahteraan dan
keamanan dunia. Kini Anoman menuntut agar permintaannya yang terakhir, yaitu
agar ia segera mati, dipenuhi oleh para dewa. Batara Guru menjawab: "Baik!
Tetapi engkau lebih dahulu masih harus menjalankan sebuah tugas lagi, yaitu
menjodohkan ketiga orang putra Prabu Sriwahana (sebagian dalang menyebut Prabu
Sriwahana dengan sebutan Prabu Sariwahana) dari Kerajaan Yawastina."
Dalam pelaksanaan tugas itu nanti,
menurut Batara Guru, Anoman akan gugur. Karena, seorang ksatria agung seperti
Anoman tidak layak bila mati di tempat tidur. Para dewa memutuskan, Anoman
harus gugur sebagai ksatria sejati di medan tugas. Anoman menyanggupi tugas itu
karena ia memang ingin mati sebagai prajurit.
Pertarna-tama ia menemui Prabu
Sriwahana dan menguraikan tentang maksud para dewa menjodohkan ketiga putra
raja Yawastina itu dengan putri-putri Prabu Jayabaya. Prabu Sriwahana
menyetujui. Maka berangkatlah Anoman ke Mamenang. Sebenarnya lamaran yang
diajukan Anoman untuk ketiga putra raja Yawastina itu diterima oleh Prabu
Jayabaya. Namun, sebelum pembicaran itu tuntas, tiba-tiba datanglah Prabu
Yaksadewa. Raja raksasa itu ternyata juga akan melamar ketiga putri Prabu
Jayabaya.
Perkelahian tidak dapat dihindari.
Seperti janji para dewa, dalam pertempuran itu Anoman gugur. Menyaksikan
peristiwa itu, Prabu Jayabaya marah, dan berhadapan dengan Prabu Yaksadewa.
Raja raksasa itu berhasil dikalahkannya,
dan berubah ujud menjadi Batara Kala, yang kemudian lari pulang ke tempat
kediamannya di Setra Gandamayit.
Dari cerita ini jelas bahwa Anoman,
menurut pewayangan, tewas oleh Batara Kala, pada zaman Kerajaan Mamenang, atau
Kerajaan Kediri.
Menurut Mahabarata versi Jawa Kuna, yakni
pada bagian Tritayatra Parwa, Anoman pernah berjumpa dengan Bima. Waktu itu
para Pandawa sedang menjalani pembuangan selama 12 tahun di hutan. Waktu Bima
hendak lewat di sebuah jalan sempit di tebing jurang, seekor kera putih sedang
berbaring melintang jalan. Dengan sopan Bima minta agar kera putih itu menepi
agar ia bisa lewat.
Sang Kera Putih
menjawab: "Jika aku menghalangi perjalananmu, mengapa bukan kau lompati
saja aku, atau engkau singkirkan saja tubuhku ke tepi?" Bima menolak
melompati kera itu karena perbuatan itu tidak sopan. Ia pun tidak mau menyingkirkan
kera itu, karena itu berarti memaksakan kehendak.
Sang Kera lalu
mengatakan: "Bila engkau dapat mengangkat ekorku, maka dengan sukarela aku
akan menyingkir dari tempat ini."
Tanpa banyak bicara
Bima mencoba mengangkat ekor kera itu, namun ternyata tidak sanggup, meskipun
ia telah mengerahkan segenap kesaktiannya. Kini tahulah Bima bahwa ia
berhadapan dengan seekor kera Sakti berilmu tinggi. Karenanya, Bima segera
memohon agar diterima sebagai muridnya. Permohonan Bima dipenuhi. Anoman lalu
memperkenalkan diri bahwa sebenamya ia dan Bima "saudara Tunggal
Bayu". Ia pun memberikan beberapa ilmu pada "saudara Tunggal
Bayu"nya itu. Di antara yang diwariskan adalah ilmu mengenai pembagian
zaman yang selalu berlangsung di alam dunia ini.
Pembagian zaman di
dunia menurut Anoman adalah:
Zaman Kreta atau
Kretayuga, yakni zaman ke-utamaan yang sempurna. Di dunia hanya ada satu agama,
tidak ada kejahatan, belum ada tradisi jual beli, yang ada hanya memberi dan
menerima. Setiap manusia menjalankan kewajiban (derma) masing-masing dengan
sebaik-baiknya, tanpa ada rasa iri atau sirik pada orang lain. Semua manusia
mempunyai kedudukan sama terhadap manusia lainnya.
Zaman Tirta atau
Tirtayuga, yakni ketika di dunia ini mulai terdapat orang-orang yang berhati
jahat. Seperempat penduduk dunia menjadi orang yang berperilaku dengki, iri dan
sutra mengambil yang bukan miliknya. Yang baik hanya tinggal tiga perempat
bagian saja. pada zaman ini muncul kebiasaan orang mengadakan sesaji, dan
timbul berbagai macam agama. pada zaman Tirta pula dimulai adanya pembagian
golongan masyarakat: golongan brahmana, ksatria, waisya, dan sudra.
Zaman Dupara atau
Duparayuga, ketika manusia di dunia ini terbagi menjadi dua bagian. Yang
separuh menjadi orang jahat dan separuh sisanya tetap baik. Jumlah agama makin
banyak, tetapi yang memperhatikan kaidah dan norma agama itu makin sedikit.
Banyak orang bertapa dan mencari kesaktian, namun sebagian dari mereka
bertujuan buruk. Orang yang ingin berbuat kebaikan makin banyak godaan dan
halangannya.
Zaman Kali atau
Kaliyuga, yakni zaman di mana keburukan menang atas kebaikan. Golongan manusia
yang masih berjalan di jalan keutamaan tinggal seperempat bagian saja. Sisanya
sudah menjadi orang jahat. Agama, walaupun makin banyak macamnya, seakan sudah tidak
lagi dipedulikan orang. Banyak orang malas, tetapi mereka selalu iri pada
keberhasilan orang yang rajin. Orang takut melarat, tetapi tidak berusaha untuk
menjadi kaya. Zaman ini adalah zaman ketika usia dunia telah tua, telah
mendekati akhir zaman.
Selain itu, Anoman
masih banyak memberikan wejangan dan bimbingan kepada Bima mengenai rahasia
hidup, dan kehidupan alam. Iapun mengajarkan beberapa ilmu, di antaranya ilmu
Sepi Angin.
Tetapi selain
memberikan ilmu-ilmunya pada Bima, Anoman pun pernah berguru pada Bima. Waktu
Bima mengajarkan berbagai ilmu spiritual kepada anak-anak dan keponakannya di
Gunung Argakelasa, Anoman pun ikut menjadi muridnya. Waktu itu Anoman
menggunakan nama Kapiwara.
Pada seni kriya Wayang
Kulit Purwa gaya Surakarta, tokoh Anoman dilukiskan bermata satu (karena
dipandang dari satu sisi), sedangkan pada gaya Yogyakarta dan Kedu, bermata
dua.
Setelah Anoman lanjut
usia dan menjadi pertapa di Kendalisada, ia lebih dikenal dengan nama Resi
Mayangkara, dan figur wayangnya mengenakan sampir, yakni selendang di bahunya.
Dalam Wayang Orang,
tokoh Anoman ditarikan oleh seorang penari pria. Ia mengenakan topeng mulut dan
hidung, dan berpakaian kaus putih menutupi badan dan tangan serta kakinya.
http://blvckshadow.blogspot.com/2010/03/anoman.html
4.
PROVINSI
PAPUA BARAT
Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya
Barat disingkat Irjabar) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di
bagian barat Pulau Papua. Ibukota provinsi Papua Barat adalah Manokwari. Nama
provinsi ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18
April 2007, diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat dan Papua merupakan
provinsi yang memperoleh status otonomi khusus.
ARTI LAMBANG PROVINSI
PAPUA BARAT
Lambang Provinsi Papua Barat :
- Tulisan Papua Barat menjelaskan nama Provinsi Papua Barat
- Bintang berwarna putih bermakna Ketuhanan Yang Maha Esa dan cita-cita serta harapan yang akan diwujudkan.
- Pohon dan ikan bermakna bahwa Provinsi Papua Barat memiliki sumber daya hutan dan sumber daya laut yang berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
- Menara kilang dengan semburan api berwarna merah bermakna bahwa Provinsi Papua Barat memiliki kekayaan bahan tambang yang melimpah.
- Leher dan kepala burung Kasuari menghadap ke kanan dalam bidang lingkaran hijau bermakna bahwa Provinsi Papua Barat secara geografis terletak di wilayah leher dan kepala burung Pulau Papua, sekaligus memilki filosofi ketangguhan, keberanian, kekuatan dan ketahanan menghadapi tantangan pembangunan dimasa depan serta berkeyakinan bahwa dengan semangat persatuan dan kesatuan, kesinambungan pembangunan akan mewujudkan masa depan yang cerah.
- Bidang Hijau yang diapit 3 (tiga) bidang biru bermakna kesatuan tekad dan perjuangan dari 3 (tiga) unsur: pemerintah, rakyat/adat dan agama mewujudkan keberadaan Provinsi Papua Barat.
- Perisai dengan warna dasar biru bersudut lima bermakna bahwa provinsi Papua Barat berasaskan Pancasila yang mampu melindungi seluruh rakyat.
- Sepasang pelepah daun sagu, masing-masing pelepah bagian kanan terdiri dari 12 (dua belas) pasang anak daun, bagian kiri terdiri dari 10 (sepuluh) pasang anak daun yang diikat oleh dua angka sembilan bermotif ukiran karerin budaya Papua, bermakna bahwa Provinsi Papua Barat dibentuk pada tanggal 12 Oktober 1999NKRI. Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Provinsi Papua Barat yang melambangkan kesejehteraan dan kemakmuran. sebagai Provinsi ke-2 di Tanah Papua dan ke-31 di wilayah.
- Seutas pita berwarna kuning bertuliskan “CINTAKU NEGERIKU” terletak di bagian bawah perisai merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perisai bermakna folosofis perjuangan seluruh komponen masyarakat untuk mempertahankan keberadaan Provinsi Papua Barat dalam bingkai NKRI.
http://kejoratrisnawati.wordpress.com/lambang/